Kamis, 16 Juni 2016

Tulis Ulang Sejarah!


“Darah tetap lah darah Dan air tetap lah air”
Mungkin ini gambaran paling sederhana untuk amrah dan peringatan untuk mereka yang mencoba menulis sejarah dengan seenaknya saja tanpa didasari rasa sebagai manusia yang harusnya juga memanusiakan manusia. Entah untuk tujuan apa, apakah supaya orang lain takjub dengan menghilangkan bagian yang dianggap kotor dan hina dalam sejarah itu sendiri atau apapun itu alasanya, bagaimanapun ini adalah bentuk kekerdilan berpikir yang sangat nyata dan hina.

Berbicara sejarah kita akan dihadapkan dengan peristiwa, keadaan bahkan orang-orang yang tak menyenangkan dan mungkin kita berpikir sebaiknya orang tersebut tak pernah ada dalam garis tinta sejarah itu sendiri. Akan tetapi, sebagai manusia yang katanya mahluk paling sempurna di jagat alam raya ini, maka sungguh jika ada orang atau kelompok yang mencoba bahkan sudah menulis sejarah dengan mengesampingkan dan menghilangkan sesutu dengan sengaja sungguh ia sebagai manusia telah melakukan penghinaan terhadap sang pencipta.

Lalu bagaimana jika sejarah yang jauh dari kebenaran tersebut sudah diyakini kebenarnya? Maka tak ada jalan lain selain ia menulis ulang sejarahnya dengan pertama sekali diawali oleh pengakuan penuh rasa bersalah karena sudah melakukan kesalahan patal. Kesalahan menghilangkan eksistensi yang ia anggap sebagai noda hitam atau apapun itu yang telah menjadikan ia manusia yang menghinakan kemanusiaannya sendiri hanya untuk mendapat pujian semu dari sekelompok manusia lainnya.

Terus bagaimana jika ia tak mau melakukannya? Jawabannya hanya satu, mari kita tulis sejarah kita sendiri dengan tanpa menghina kemanusiaan yang ada dalam diri kita. Tulis dengan tanpa dendam pada manusia yang telah menulis sejarah dengan mengkerdilkan dirinya. Tulis walau sebanyak apapun tinta bahkan darah jika itu yang kita butuhkan untuk menyampaikan sejarah yang sesungguhnya.

Serang, 16 Juni 2016
Nurjaya Ibo

Selasa, 07 Juni 2016

Orang Tua Vs Regenerasi

"Setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya” 
Begitulah kira-kira Adagium kehidupan yang saya dan mungkin kita semua tahu. Dari sanalah kita melihat adanya suatu kejadian dimana kita akan mengalami hal tersebut yang saya pahami sebagai regenerasi. Akan tetapi terlalu banyak kejadian dalam masyarakat kita ada salah satu kelompok yang tak mau menerima siklus ini dengan menebarkan pembenaran akan tindakannya dalam menolak regenerasi. Maka tak jarang mereka yang seharusnya sudah menyerahkan apa yang ia punya, dalam hal ini saya menitik beratkan pada kedudukan atau kekuasaan karena bidang inilah yang dalam prakteknya sangat terlihat, dirasakan dan didengar bahkan oleh mereka yang “buta” dan “tuli”  sekalipun. Dan pada akhirnya kita menyaksikan regenerasi diterapakan dengan cara-cara yang jauh dari apa yang dikatakan baik-baik atau normal.

Dalam kehidupan bermasyarakat kita mengenal yang namanya penggolongan kelompok masyarakat dengan didasarkan pada usia ada kelompok tua, muda, remaja, anak-anak, dan balita. “Pertempuran” regenerasi dalam kedudukan atau kekuasaan terjadi antara kelompok tua “melawan” kelompok muda atau sebaliknya. Sebenarnya banyak kelompok muda yang masuk dalam lingkaran kekuasaan kelompok tua untuk belajar dan mendapatkan pengalaman langsung bagaimana caranya berkuasa dari sang empu nya penguasa, akan tetapi, disaat kelompok muda ini sudah siap memimpin dalam hal ini berkuasa, kelompok tua terlihat enggan tunduk dalam siklus regenerasi.

Jangan berharap adanya regenerasi apalagi berasal kelompok tua yang sedang asyik-asyiknya menemukan mainan baru dalam usianya yang sebenarnya sudah tak mampu bermain lagi. Ia akan enggan melepasnya bukan karena  belum percaya akan kemampuan yang muda akan tetapi karena mereka belum siap atau tidak mau memberikan sesuatu yang sebenarnya bukan lagi hal yang ia kuasai karena berbeda masa. Ingat, “Tiap masa ada orangnya dan tiap orang ada masanya”.

Maka tidaklah mengherankan jika keadaan ini membuat kelompok muda mengambil jalan lain dalam mempertahankan semangat regenerasi selain dengan cara yang jauh dari kata saling menghormati dalam arti yang sebenarnya. Maka jangan merasa heran pula jika kini kita saksikan ada kelompok tua yang langsung head to head meladeni perlawanan kelompok muda. Saya jadi bertanya tak malukah ia dengan usianya yang mulai memasuki masa senja? Tak malukah ia berkuasa dari apa yang sebenarnya tak mampu ia kuasai karena perbedaan masa. Padahal ia sudah hidup dimasanya dengan baik dan kini ia mencoba mengambil masa orang lain yang jelas-jelas bukan haknya.

Dan pada akhirnya Ia adalah Orang Tua Yang Melawan Regenerasi.

Serang, 7 Juni 2016
Nurjaya Ibo

Senin, 06 Juni 2016

“Saya Bukan Budak”


Dalam perjalanan hidup ini kita sering kali dihadapkan kepada pilihan-pilihan yang sulit, tak ayal terkadang kita tak mampu untuk memilih salah satu dari sekian pilihan yang ada dan membiarkan tubuh dan jiwa ini seolah berlari dari kenyataan. Padahal, tak semua orang mempunyai kesempatan untuk memilih bahkan untuk memimpikan datangnya pun seolah ini menjadi hal yang mustahil.

Budak contohnya, dalam sejarahnya budak merupaan manusia yang tak mempunyai hak apapun dalam hidupnya, bahkan hak hidup itu sendiri sebenarnya tak ada dalam dirinya apalagi sampai mempunyai pilihan dalam menjalani hidupnya.

Maka sudah selayaknya kita bersyukur dengan apa yang berlaku sekarang ini. bagaimana caranya? Dengan mengambil keputusan untuk memilih salah satu dari sekian banyak pilihan yang ada dan tak membiarkan diri kita terus berlari dari kenyataan. ingat, saat memilih kita harus benar-benar bebas dari apaun, tak ada paksaan dari orang lain untuk memilihnya. Pilihan itu harus datang dari jiwamu.  Saat kita memilih kita memproklamirkan diri kita sebagai manusia seutuhnya.

Lalu bagaimana jika ada manusia yang mencoba menjadikan kita budak? Budak disini tentunya bukan seperti budak jaman dulu, perbudakan sekarang dalam bentuk transfer gagasan atau pemikiran yang penerapannya harus dan tidak boleh menggunakan cara lain selain cara yang disampaikannya. Praktek ini kini sedang berlangsung ditengah-tengah kehidupan kita atau bahkan kita sebenarnya sudah dimasukan kedalam perbudakan jenis baru ini.

Perbudakan ini menurut Penulis sangat terlihat ketika kita bicara tentang organisasi baik yang bergerak dalam politik, ekonomi, budaya, maupun organisasi sosial. Dimana kaum muda tak diberi kesempatan untuk menyampaikan gagasan-gagasannya untuk kemajuan bangsa terutama organisasinya. Jika kita merasa dalam lingkaran tersebut sudah saatnya kita kaum muda menyatakan “Saya Bukan Budak”. Tentu dengan resiko disebut pembangkang dan ditendang dengan seenaknya tentunya dengan air ludah mendarat lebih dulu kemuka daripada sepatunya. Kalau kita takut dengan resiko tersebut, sudah selayaknya dan tak boleh marah kita disebut budak.

Serang, 5 Juni 2016
Nurjaya Ibo

Mengurai Kegilaan

Tidak sedikit pemikiran yang terpenggal bahkan bertentangan satu sama lain dalam benakku ini dan tak sedikit pula yang menumpuk kusut. Semuanya bercampur menciptaan rasa sakit yang sering kali membuatku hampir “gila”, bahkan mungkin saat ini saya sudah “gila”, entahlah. Gila dengan semua yang terjadi dalam hidup ini terutama Kenyataan Pribadi. Hidup dengan relita yang jauh bahkan bisa dikatakan terbalik 180 derajat dari impian dan gagasan hidup selama ini.

Sebuah Kenyataan hidup yang ketika manusia lainnya memuji sambil meludah, menertawakan, mencaci, menghujat atau apaun itu namanya, jawaban saya selalu satu, suatu saat kamu akan mengerti apa yang saya lakukan. Ini tak lepas karna Pemikiran dan cara berpikir saya banyak yang tak diterima dimanapun saya berada. Entah karna latar belakang saya, atau karna tindakan saya yang katanya tak mencerminkan gagasan saya. Ah saya tak perduli, karna sekali lagi suatu saat kamu akan mengerti.

Pagi ini 5 juni 2016  satu hari menjelang bulan suci Ramadhan saya berdiskusi dengan Dede Kodrat Alwajir saya memanggilnya Bang Deko  pemuda seusia saya yang luar biasa gagasan dan analisanya. Sejak pertama kali bertemu ia mengajak  saya mencurahkan apa yang ada dalam benak saya dalam bentuk tulisan, dan tak jarang kadang ajakan itu saya rasakan seperti paksaan yang membuat saya tak nyaman. Banyak hal yang beliau ungkapkan yang pada akhirnya membuat saya tertarik untuk menulis. Bukan karena saya sudah mahir mencurahkan gagasan saya dalam bentuk tulisan akan tetapi semoga jalan ini dapat menyambungkan benang Pemikiran yang terpotong-potong bahkan bisa menguraikan beberapa tumpukan benang kusut dalam kepala ini. Yang pada akhirnya semoga ini bisa dijadikan bahan untuk membuat baju yang bisa saya kenakan.

Semoga jalan ini bisa menjawab semua pemikiran “gila” saya. Amin

Serang, 5 juni 2016
Nurjaya Ibo