“Darah tetap lah darah Dan air tetap lah air”
Mungkin ini gambaran paling
sederhana untuk amrah dan peringatan untuk mereka yang mencoba menulis sejarah
dengan seenaknya saja tanpa didasari rasa sebagai manusia yang harusnya juga
memanusiakan manusia. Entah untuk tujuan apa, apakah supaya orang lain takjub
dengan menghilangkan bagian yang dianggap kotor dan hina dalam sejarah itu
sendiri atau apapun itu alasanya, bagaimanapun ini adalah bentuk kekerdilan
berpikir yang sangat nyata dan hina.
Berbicara sejarah kita akan
dihadapkan dengan peristiwa, keadaan bahkan orang-orang yang tak menyenangkan
dan mungkin kita berpikir sebaiknya orang tersebut tak pernah ada dalam garis
tinta sejarah itu sendiri. Akan tetapi, sebagai manusia yang katanya mahluk
paling sempurna di jagat alam raya ini, maka sungguh jika ada orang atau
kelompok yang mencoba bahkan sudah menulis sejarah dengan mengesampingkan dan
menghilangkan sesutu dengan sengaja sungguh ia sebagai manusia telah melakukan
penghinaan terhadap sang pencipta.
Lalu bagaimana jika sejarah yang
jauh dari kebenaran tersebut sudah diyakini kebenarnya? Maka tak ada jalan lain
selain ia menulis ulang sejarahnya dengan pertama sekali diawali oleh pengakuan
penuh rasa bersalah karena sudah melakukan kesalahan patal. Kesalahan menghilangkan
eksistensi yang ia anggap sebagai noda hitam atau apapun itu yang telah menjadikan
ia manusia yang menghinakan kemanusiaannya sendiri hanya untuk mendapat pujian
semu dari sekelompok manusia lainnya.
Terus bagaimana jika ia tak mau
melakukannya? Jawabannya hanya satu, mari kita tulis sejarah kita sendiri
dengan tanpa menghina kemanusiaan yang ada dalam diri kita. Tulis dengan tanpa
dendam pada manusia yang telah menulis sejarah dengan mengkerdilkan dirinya. Tulis
walau sebanyak apapun tinta bahkan darah jika itu yang kita butuhkan untuk menyampaikan
sejarah yang sesungguhnya.
Serang, 16 Juni 2016
Nurjaya Ibo