Selasa, 26 Desember 2017

Waktu Dan Masa Depan


Hal yang paling mendasar dalam kehidupan dan berlaku sama pada semua mahluk adalah waktu. Dalam hentakannya, waktu yang dimiliki dan dijalani oleh setiap manusia sama yakni  60 detik setiap menit, 60 menit setiap jam, 24 jam setiap hari, 7 hari setiap minggu dan seterusnya. Tak ada yang berbeda antara satu manusia dengan manusia yang lainnya bahkan satu mahluk dengan mahluk lainnya.

Seperti semua persamaan pasti terdapat perbedaan begitu pula waktu. Dalam waktu yang berbeda adalah cara kita memanpaatkannya. Misalnya ada kebanyakan orang yang berjalan dengan santai, ada yang berjalan cepat, ada yang berlari, tidak sedikit orang yang memakai mesin untuk membuatnya semakin cepat dan baik dalam memanpaatkan waktu, bahkan ada beberapa orang yang cukup menempel pada orang lain seperti parasite.

Rangkaian persamaan waktu tersebut pada akhirnya akan bermuara pada masa depan yang akan membedakan golongan mana yang berjalan, berlari, dan mana yang menjadi  parasit. Siapapun dia dalam kondisi apapun dia saat itu, masa depan akan menghampirinya dengan wajah yang berbeda, ada masa depan dengan cover dan isi yang tersenyum, menangis, kecewa, bahkan ada juga cover sampai isinya berbentuk penyesalan.

Lalu bagaimana membuat cover bahkan sampai isi masa depan kita tersenyum?. Masa depan walaupun belum terjadi, kita bisa melihatnya dengan kacamata apa yang yang sudah kita lakukan dimasa lalu dan masa kini kita. Contohnya seperti membayangkan kematian kita juga secara spontan mengingat apa apa yang sudah kita lakukan dalam kehidupan ini, sudah siapkan kita menghadapi kematian, seberapa banyakkah orang yang menangisi kita saat kematian itu datang bahkan siapkah kita menghadapi kehidupan kekal setelah kematian tersebut? Semua itu bisa kita ukur dengan apa yang sudah kita lakukan. Begitulah kira kira.

Merencanakan masa depan.

Seorang pakar kreativitas terkemuka Michael Michalko Dalam bukunya Thingker toys menyarankan dalam menyusun masa depan kita jangan hanya bertumpu pada satu opsi saja, ia menggambarkan dalam menyiapkan masa depan bagaimana jika kita menanam satu pohon apel saja untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Akan tetapi tiba-tiba pohon apel tersebut terkena penyakit dan mati padahal kita sudah sangat bersungguh-sungguh berusaha, yang terjadi pada orang seperti ini adalah kepanikan dan penyesalan. dan jika ia manusia yang sangat optimis bisa saja ia memulai lagi dari awal tapi waktu sekali lagi telah berubah.


Oleh karena itu menurut Michalko kita jangan sampai hanya merancang satu opsi atau pola untuk masa depan kita, tapi buatlah dua pola, tiga pola atau lebih yang layak untuk kita perjuangan. Karena kita tidak pernah tau mana yang akan mengantarkan kita pada masa depan yang lebih baik.

Serang, 26 Desember 2017

Senin, 10 Juli 2017

Pertandingan Yang Adil


Menurut istilah, Pertandingan merupakan bentuk kegiatan fisik dan saling berhadap-hadapan. Ada dua jenis pertandingan yang melibatkan kontak fisik secara langsung, saling menjatuhkan, menyerang dan memperdaya lawannya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kedua adalah jenis pertandingan dengan adanya pembatas antara petarung satu dengan yang lainnya.  

Dalam sebuah pertandingan terkadang terjadi secara adil. Ini disebabkan keadaan dua belah pihak atau lebih memiliki kekuatan dan kemampuan yang sama dan yang lebih penting posisi yang sama . Lalu bagaimana jika dua orang yang bertanding tidak dalam kondisi yang seimbang?. maka ini seperti kisah yang diceritakan Fitron Nur Ikhsan dalam bukunya dimensi kodok dimana ada dua orang sahabat yang seumuran dengan pisik yang berimbang. Salah satunya naik pohon kelapa lalu meludah dan mengenai muka orang yang ada dibawahnya. Lalu orang yang berada dibawah itu marah. orang yang berada diatas bilang silakan kamu pun bisa melakukan hal yang sama terhadap saya. Maka meludahnya orang itu yang ia arahkan kemuka orang yang ada diatas. apa yang terjadi? Kita semua pasti sepakat bahwa air ludah akan mengenai muka si peludah. Kenapa? Karna walaupun dua orang ini mempunyai kekuatan dan kemampuan yang sama akan tetapi berada diposisi yang berbeda. Maka dari itu posisi sangat menentukan hasil pertandingan.

Selain tiga hal tersebut, harus juga dibuat aturan yang jelas terkait pertandingan. Didalamnya setidaknya memuat persyaratan siapa saja yang boleh bertarung, dimana pertarungannya, apa yang boleh dilakukan saat bertarung dan apa yang tidak boleh dilakukan saat bertarung, serta seperti apa yang bisa dikatakan menang. Dan yang paling penting lagi harus ada pengadil pertandingan. Jika hal ini tidak  dilakukan, maka ini tak ubahnya seekor kodok yang baru keluar dari tempurung lalu menantang  kuda yang terlalu lama tinggal di kandang. Kodok mengajak kuda bertanding untuk membuktikan siapa diantara mereka yang paling hebat, kuda pun meladeni tantangan kodok. Kodok lalu membuat pertandingan, siapa yang loncatannya paling tinggi maka ialah pemenangnya. Kuda dengan gagah berani lalu meloncat. Dengan penuh keyakinan kuda melihat kearah sang kodok seolah mengatakan kamu lihat loncatan saya?. Sang kodok pun langsung meloncat. loncatannya tidak lebih tinggi dari saya pikir kuda dalam hatinya. Menurut pembaca, siapakah pemenangnya?.

Karena pertandingan itu tidak disebutkan aturan yang jelas dan hanya menyebutkan paling tinggi. Maka pemenangnya bisa kodok dan bisa pula si kuda. Keduanya bisa berpotensi disebut sebagai pihak yang menang. Kuda bisa mengklaim dialah pemenangnya karena dalam kacamata kuda ia meloncat lebih tinggi dari si kodok. Tapi menurut sang kodok pun ia akan merasa sebagai pemenangnya. Kenapa? Karena ia mampu meloncat 15 kali lebih tinggi dari tinggi dirinya sendiri. Sedangkan kuda hanya dua kali dari tinggi tubuhnya.


Selain mengesampingkan kekuatan, kemampuan serta posisi yang sama, pertandingan kodok melawan kuda juga tanpa aturan yang jelas, dalam pertandingan tersebut juga tidak ada sang pangadil yang kemudian menentukan siapakah pemenangnya. Kalau sudah begini, konflik berkepanjanganpun bisa terjadi. Kenapa? Karna kita yang mengenal adanya aturan dan pengadilpun masih berkonflik setelah pertandingan dikatakan selesai oleh sang pengadil.

Serang, 10 Juli 2017
Nurjaya Ibo

Kamis, 16 Juni 2016

Tulis Ulang Sejarah!


“Darah tetap lah darah Dan air tetap lah air”
Mungkin ini gambaran paling sederhana untuk amrah dan peringatan untuk mereka yang mencoba menulis sejarah dengan seenaknya saja tanpa didasari rasa sebagai manusia yang harusnya juga memanusiakan manusia. Entah untuk tujuan apa, apakah supaya orang lain takjub dengan menghilangkan bagian yang dianggap kotor dan hina dalam sejarah itu sendiri atau apapun itu alasanya, bagaimanapun ini adalah bentuk kekerdilan berpikir yang sangat nyata dan hina.

Berbicara sejarah kita akan dihadapkan dengan peristiwa, keadaan bahkan orang-orang yang tak menyenangkan dan mungkin kita berpikir sebaiknya orang tersebut tak pernah ada dalam garis tinta sejarah itu sendiri. Akan tetapi, sebagai manusia yang katanya mahluk paling sempurna di jagat alam raya ini, maka sungguh jika ada orang atau kelompok yang mencoba bahkan sudah menulis sejarah dengan mengesampingkan dan menghilangkan sesutu dengan sengaja sungguh ia sebagai manusia telah melakukan penghinaan terhadap sang pencipta.

Lalu bagaimana jika sejarah yang jauh dari kebenaran tersebut sudah diyakini kebenarnya? Maka tak ada jalan lain selain ia menulis ulang sejarahnya dengan pertama sekali diawali oleh pengakuan penuh rasa bersalah karena sudah melakukan kesalahan patal. Kesalahan menghilangkan eksistensi yang ia anggap sebagai noda hitam atau apapun itu yang telah menjadikan ia manusia yang menghinakan kemanusiaannya sendiri hanya untuk mendapat pujian semu dari sekelompok manusia lainnya.

Terus bagaimana jika ia tak mau melakukannya? Jawabannya hanya satu, mari kita tulis sejarah kita sendiri dengan tanpa menghina kemanusiaan yang ada dalam diri kita. Tulis dengan tanpa dendam pada manusia yang telah menulis sejarah dengan mengkerdilkan dirinya. Tulis walau sebanyak apapun tinta bahkan darah jika itu yang kita butuhkan untuk menyampaikan sejarah yang sesungguhnya.

Serang, 16 Juni 2016
Nurjaya Ibo

Selasa, 07 Juni 2016

Orang Tua Vs Regenerasi

"Setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya” 
Begitulah kira-kira Adagium kehidupan yang saya dan mungkin kita semua tahu. Dari sanalah kita melihat adanya suatu kejadian dimana kita akan mengalami hal tersebut yang saya pahami sebagai regenerasi. Akan tetapi terlalu banyak kejadian dalam masyarakat kita ada salah satu kelompok yang tak mau menerima siklus ini dengan menebarkan pembenaran akan tindakannya dalam menolak regenerasi. Maka tak jarang mereka yang seharusnya sudah menyerahkan apa yang ia punya, dalam hal ini saya menitik beratkan pada kedudukan atau kekuasaan karena bidang inilah yang dalam prakteknya sangat terlihat, dirasakan dan didengar bahkan oleh mereka yang “buta” dan “tuli”  sekalipun. Dan pada akhirnya kita menyaksikan regenerasi diterapakan dengan cara-cara yang jauh dari apa yang dikatakan baik-baik atau normal.

Dalam kehidupan bermasyarakat kita mengenal yang namanya penggolongan kelompok masyarakat dengan didasarkan pada usia ada kelompok tua, muda, remaja, anak-anak, dan balita. “Pertempuran” regenerasi dalam kedudukan atau kekuasaan terjadi antara kelompok tua “melawan” kelompok muda atau sebaliknya. Sebenarnya banyak kelompok muda yang masuk dalam lingkaran kekuasaan kelompok tua untuk belajar dan mendapatkan pengalaman langsung bagaimana caranya berkuasa dari sang empu nya penguasa, akan tetapi, disaat kelompok muda ini sudah siap memimpin dalam hal ini berkuasa, kelompok tua terlihat enggan tunduk dalam siklus regenerasi.

Jangan berharap adanya regenerasi apalagi berasal kelompok tua yang sedang asyik-asyiknya menemukan mainan baru dalam usianya yang sebenarnya sudah tak mampu bermain lagi. Ia akan enggan melepasnya bukan karena  belum percaya akan kemampuan yang muda akan tetapi karena mereka belum siap atau tidak mau memberikan sesuatu yang sebenarnya bukan lagi hal yang ia kuasai karena berbeda masa. Ingat, “Tiap masa ada orangnya dan tiap orang ada masanya”.

Maka tidaklah mengherankan jika keadaan ini membuat kelompok muda mengambil jalan lain dalam mempertahankan semangat regenerasi selain dengan cara yang jauh dari kata saling menghormati dalam arti yang sebenarnya. Maka jangan merasa heran pula jika kini kita saksikan ada kelompok tua yang langsung head to head meladeni perlawanan kelompok muda. Saya jadi bertanya tak malukah ia dengan usianya yang mulai memasuki masa senja? Tak malukah ia berkuasa dari apa yang sebenarnya tak mampu ia kuasai karena perbedaan masa. Padahal ia sudah hidup dimasanya dengan baik dan kini ia mencoba mengambil masa orang lain yang jelas-jelas bukan haknya.

Dan pada akhirnya Ia adalah Orang Tua Yang Melawan Regenerasi.

Serang, 7 Juni 2016
Nurjaya Ibo

Senin, 06 Juni 2016

“Saya Bukan Budak”


Dalam perjalanan hidup ini kita sering kali dihadapkan kepada pilihan-pilihan yang sulit, tak ayal terkadang kita tak mampu untuk memilih salah satu dari sekian pilihan yang ada dan membiarkan tubuh dan jiwa ini seolah berlari dari kenyataan. Padahal, tak semua orang mempunyai kesempatan untuk memilih bahkan untuk memimpikan datangnya pun seolah ini menjadi hal yang mustahil.

Budak contohnya, dalam sejarahnya budak merupaan manusia yang tak mempunyai hak apapun dalam hidupnya, bahkan hak hidup itu sendiri sebenarnya tak ada dalam dirinya apalagi sampai mempunyai pilihan dalam menjalani hidupnya.

Maka sudah selayaknya kita bersyukur dengan apa yang berlaku sekarang ini. bagaimana caranya? Dengan mengambil keputusan untuk memilih salah satu dari sekian banyak pilihan yang ada dan tak membiarkan diri kita terus berlari dari kenyataan. ingat, saat memilih kita harus benar-benar bebas dari apaun, tak ada paksaan dari orang lain untuk memilihnya. Pilihan itu harus datang dari jiwamu.  Saat kita memilih kita memproklamirkan diri kita sebagai manusia seutuhnya.

Lalu bagaimana jika ada manusia yang mencoba menjadikan kita budak? Budak disini tentunya bukan seperti budak jaman dulu, perbudakan sekarang dalam bentuk transfer gagasan atau pemikiran yang penerapannya harus dan tidak boleh menggunakan cara lain selain cara yang disampaikannya. Praktek ini kini sedang berlangsung ditengah-tengah kehidupan kita atau bahkan kita sebenarnya sudah dimasukan kedalam perbudakan jenis baru ini.

Perbudakan ini menurut Penulis sangat terlihat ketika kita bicara tentang organisasi baik yang bergerak dalam politik, ekonomi, budaya, maupun organisasi sosial. Dimana kaum muda tak diberi kesempatan untuk menyampaikan gagasan-gagasannya untuk kemajuan bangsa terutama organisasinya. Jika kita merasa dalam lingkaran tersebut sudah saatnya kita kaum muda menyatakan “Saya Bukan Budak”. Tentu dengan resiko disebut pembangkang dan ditendang dengan seenaknya tentunya dengan air ludah mendarat lebih dulu kemuka daripada sepatunya. Kalau kita takut dengan resiko tersebut, sudah selayaknya dan tak boleh marah kita disebut budak.

Serang, 5 Juni 2016
Nurjaya Ibo